akademisi.net - E-learning (model pembelajaran daring) merujuk pada model belajar-mengajar dengan landasan pedagogi konstruktivism dimana model pembelajaran ini bertujuan untuk memicu keaktifan dan menumbuhkan nalar kritis peserta didik.
Artinya, keaktifan tersebut bukan sebatas aktif mengajukan pertanyaan kepada guru, namun juga berarti bahwa siswa harus aktif melakukan pembelajaran, dalam hal ini adalah mengajukan pertanyaan dan sekaligus mencari jawaban dari sumber-sumber di internet, sekalipun tanpa instruksi terstruktur semacam di ruang kelas. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama di Indonesia, e-learning dinilai belum efektif karena masih merupakan perangkat dan model alternatif dalam pembelajaran.
Berbagai tingkat pemangku kebijakan mulai gencar memberikan pelatihan penguasaan media online learning untuk para guru yang harus Work from Home (WFH) saat COVID-19 mewabah. Selain itu, program pemberian bantuan kuota data internet bagi guru dan siswa (dosen dan mahasiswa) juga turut dijalankan.
Namun, online learning yang digadang-gadang mampu menjembatani interaksi guru dan murid di kelas maya, ternyata belum sepenuhnya terwujud. Kendala infrastruktur jaringan internet menjadi penghalang terwujudnya hal tersebut, karena tidak semua siswa, terutama di daerah-daerah terpencil, bisa mengakses internet dengan mudah dan memadai.
Para guru/dosen pun semakin tertantang untuk menguasai ragam model pembelajaran termasuk ragam media pembelajaran penunjangnya. Penyesuaian kondisi para siswa juga menjadi pertimbangan mendasar dalam memilih media yang digunakan. Misalnya, seorang guru sesekali melakukan pembelajaran live streaming, minggu berikutnya melakukan model group chat, seperti WAG (WA Group), ataupun google classroom, dan sebagainya.
Terdapat beberapa kelebihan model pembelajaran jarak jauh dalam konsep dan praktiknya secara umum. Kelebihan-kelebihan tersebut diantaranya dapat dilihat dan dirasakan terutama dimasa pandemi yang memaksa orang-orang untuk mengurangi mobilitas dan interaksi sosial secara langsung.
Kurikulum darurat masa pandemi mengharuskan pembelajaran dan interaksi guru-murid dilakukan jarak-jauh dengan menggunakan berbagai media yang terhubung dengan internet. Maka, model-model e-learning-lah yang menjadi acuan dan platform untuk menjadi fasilitas penerapan kurikulum masa pandemi tersebut.
Ragam aplikasi e-learning dan juga media sosial memungkinkan guru-murid tetap berinteraksi tanpa harus tatap muka secara langsung untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pemberian instruksi melalui media e-learning, pengumpulan tugas atau proyek siswa, penilaian kinerja dan kemampuan siswa, dan sebagainya bisa dengan lebih cepat serta mudah dengan menggunakan aplikasi.
Selain itu, kebutuhan sumber belajar siswa juga nyaris tak terbatas. Mesin pencari akan memberikan solusi terhadap apa yang ingin diketahui dan dipelajari siswa, baik untuk kepentingan pemenuhan tugas dari guru maupun untuk wawasan umum.
Walaupun demikian, keuntungan-keuntungan tersebut juga menyaratkan banyak hal. Selain infrastruktur jaringan internet, ketersediaan dan kemampuan pendidik untuk mengelola dan menjalankan aplikasi-aplikasi e-learning juga mutlak diperlukan. Justeru, yang jadi poin inti keberhasilan online learning juga ditentukan oleh seberapa greget siswa dalam belajar tanpa bimbingan langsung dari guru/instruktur. Jika siswa tidak mampu dan terbiasa belajar mandiri, maka proses belajar jarak-jauh tersebut mustahil dikatakan berhasil.
Dari sekian kelebihan dan kekurangan model pembelajaran jarak-jauh, ruang kelas tetap menjadi kebutuhan utama pendidikan, terutama untuk pendidikan dasar di Indonesia. Terlebih pemahaman masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah muslim, keberadaan seorang guru dalam proses belajar adalah sebuah keniscayaan. Seperti itulah realitanya, seseorang disebut murid ketika ia memiliki seorang guru.
[Baca juga: Wacana Pembelajaran Daring Semester Depan, Bagaimana Nasib Pendidikan Anak-Anak?]